Selasa, 11 Mei 2010
SIFAT DAN WATAK MENURUT HARI KELAHIRAN
Mereka yang dilahirkan hari senin biasanya berusaha mengutamakan kejujuran dan keterbukaan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan kemasyarakatan. Dengan sebdirinya mereka tidak menyukai sanak keluarga yang culas atau menjauhi lingkungan masyarakat yang penuh intrik dan kurang enentramkan.
Mereka sering menimbulkan kesan kaku dan terlampau serius. Mereka tidak akan mau berkompromi dengan bujukan atau prinsip yang tidak sesuai dengan nurani dan logikanya. Banyak orang yang menolak untuk bergaul terlalu erat dengan mereka.
Umumnya mereka memiliki bakat luar biasa dalam menyelesaikan tugas yang memerlukan kecekatan dan kegesitan. Oleh sebab itu, mereka sering dipuji karena prestasinya yang menonjol.
Selasa
Cenderung berbicara yang tidak tulus dan cenderung membual. Oleh sebab itu, mereka sering mengalami penolakan dari lingkungannya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan mereka dibenci banyak orang. Akann tetapi hal ini sering tidak disadari oleh mereka, kecuali ada pihak luar yang mempunyai keberanian untuk mengatakannya.
Selain itu, mereka juga cepat bosan dan tidak telaten. Mereka tidak cocokk untuk menyelesaikan tugas yang memerlukan ketekunan dalam jangka waktu yang lama, seperti akuntan atau jaksa.
Mereka juga bias menjadi orang yang pemboros karena mereka tidak terlalu menghargai prestasi dalam bidang keuangan yang diperoleh dengan susah payah.
Rabu
Mereka yang dilahirkan pada hari rabu cenderung berperilaku baik dan bertutur sopan, namun sering berlebihan dalam perhatian sehingga sering mengabaikan keluarga. Kehhidupan social mereka lebih aktif dibanding kehidupan keluarga sehingga mereka berkemungkinan memperoleh penghargaan yang tinngi masyarakat.
Mereka umumnya berpembawaan tegas, lengsung dank eras. Mereka cenderung pendiam dan kurang senang dengan pergaulan yang hiruk pikuk.
Sering kali mereka bertindak spontan dan agresif tanpa memikirkan akibatnya. Oleh sebab itu, mereka dikenal sebagai manusia yang berani mengambil resiko.
Kamis
Mereka dikenal sebagai manusia yang penyendiri karena agak sulit untuk berteman dan mengobrol. Mereka sering berbicara dengan cara yang kurang sopan sehingga bias menakutkan. Memiliki hati nurani yang tulus dan bersih.
Mereka juga dikenal dengan pembawaan yang tempramen atau cepat marah. Karena mereka senang dengan pujian maka mereka mudah sekali ditipu dengan kata-kata yang halus dan manis.
Umumnya mereka juga memberikan perhatian yag tinngi pada keluarga sekalipun tidak ditunjukkan dengan cara demonstrative. Semua kebutuhan keluarga akan dipenuhinya.
Jum’at
Mereka dikenal dengan orang yang suka menasihati dan senang melarat demi suatu kepentingan yang lebih agung. Juga dikenal dengan kesukaannya membagi pengalaman dan senang mencari kepanndaian ilmu oengetahuan dalam segala bidang.
Watak dan sifat mereka umumnya adalah halus dan berbudi pekerti yang baik. Mereka juga senantiasa mengutamakan kepentingan keluarga. Jarang dari mereka yang mau berkorban untuk lain selama keluarga mereka belum mendapatkan kondisi yang memadai.
Disamping itu, mereka juga dikenal memiliki banyak teman dan bisa diterima dengan baik dalam lingkungan masyarakatnya. Kehidupan sosialnya pada umumnya dinamis dan selalu aktif ssehingga mereka sering mengabaikan kesehatan dan karirnya.
Sabtu
Mereka yang dilahirkan pada hari sabtu sering dimusuhi orang sekalipun mereka sangat ditakuti. Banyak yang merasa segan dan acuh jika mereka berada dilingkungan. Sering kali mereka tidak diterima dengan senang.
Mereka jarang bisa berteman dalam kurun waktu yang lama. Tapi mereka dikaruniai bakat yang cemerlang dalam berniaga atau dagang. Umumnya mereka memiliki kemampuan dalam menyesuaikan semua tugas dengan tangkas dan cekatan. Selain itu, mereka adalah pekerja yang tekun dan telaten. Justru karena itu mereka sering disebut manusia egois.
Ahad
Umumnya berpembawaan periang, ceria, optimistis, dan ikhlas dalam segala hal. Mereka mudah bergaul dan bisa diterima dengan terbuka dalam segala lingkungan.
Mereka adalah pejuang gigih untuk kepentingan keluarga. Rela berkorban untuk sanak saudaranya. Banyak yang iri dengan keluarga yang begitu banyak mendapatkan perhatian dan pengorbanan dari mereka.
Mereka dikenal sebagai manusia yang berbudi, bertutur kata santun, dan cinta sesame. Cenderung menjalani kehidupan yang tentram dan statis. Mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam berbicara dan pandai mengambil hati orang yang tua usianya. Karir mereka berjalan mantap dan terus meningkat.
Sumber: Horoskop Jawa, Suroso Aji Pamungkas
TUGAS SIAPAKAH PERBAIKAN MORAL BANGSA INI?
Dengan seiring berjalannya waktu, perkembangan zaman yang semakin pesat dibarengi dengan adanya era globalisasi yang memberikan jurang pemisah bagi kebudayaan-kebudayaan suatu negara untuk masuk ke negara lain. Hal ini sangat berpengaruh bagi para generasi penerus bangsa ini pada khususnya. Jika kita lihat disekitar kita, banyak pemuda generasi penerus bangsa ini seakan hilang jiwa Indonesianya. Bahkan dari mereka lebih senang untuk menggunakan kebudayaan bangsa lain yang mungkin tidak cocok untuk diterapkan di negeri ini dalam pergaulan sehari-harinya. Banyak anak sekarang yang memiliki moral kurang baik. Moral adalah manusia yang memiliki sifat positif, sedangkan kebalikannya adalah amoral. Kita lihat anak sekarang berani membantah orang tua, berkata kasar kepada teman atau orang tua, berperilaku kasar, anak muda sekarang banyak yang melakukan freesex. Hal ini merupakan dampak dari adanya era globalisasi yang tidak disertai dengan penyaringan kebudayaan luar yang digunakan.
Pengaruh budaya lain sangat baik untuk bangsa kita namun pengaruh tersebut harus kita saring yang mana yang baik dan buruk. Hal ini belum dapat dilaksanakan para generasi penrus bangsa ini. Kebanyakan dari mereka bagi mereka yang terpenting itu baik menurut mereka, padahal sebenarnya itu buruk bagi mereka. Mereka telah membuang jauh-jauh pendidikan islam dan memilih suatu hal yang baik menurut mereka. Menurut mereka itu baik padahal itu tidak baik.
Sekarang yang menjadi tugas kita adalah bagaimana kita sebagai generasi penerus bangsa ini memperbaiki moral anak bangsa. Ada beberapa faktor yang sangat penting dalam proses perbaikan moral generasi bangsa ini. Pertama adalah orang tua, banyak orang tua yang tidak peduli kepada anak-anak nya atau tidak berperilaku adil kepada anak-anak nya. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perlawanan anak yang lebih menjurus pada pembangkangan dan lain sebagainya. Disini peran orang tua sangat penting sebagai pengawas dari pergaulan anak dalam kehidupannya sehari-hari. Orang tua sebagai pengontrol gaya bergaul dari si anak, sehingga ketika si anak melakukan pergaulan yang kurang baik ada seorang pengawas yang membuat anak untuk tidak melakukannya.
Faktor berikutnya yang berpengaruh adalah pentingnya pendidikan, baik disekolah maupun dimana saja. Pendidikan sangat penting untuk mewujudkan moral anak bangsa yang baik, dimana kita mengajarkan untuk menaati hukum, menjalankan syari’at Islam, tidak korupsi, tidak berkata kasar, tidak asal-asalan, memilah-milah budaya, dan lain sebagainya. Dan ini yang harus di tanamkan pada setiap anak bangsa, tidak hanya dilihat dan dimengerti tetapi harus dilakukan. Selain itu pendidikan agama sangat penting dalam proses perbaikan moral anak bangsa ini. Banyak para generasi muda yang mulai mengacuhkan pendidikan agama sebagai modal utama dalam menjalani kehidupan saat ini. Bahkan ini sangat terlihat ketika kita telah menginjakkan kaki kita pada jenjang universitas, seolah-olah ilmu agama sangat tidak penting. Dalam dunia kemahasiswaan dianggap sebagai dunia yang sangat bebas untuk berekspresi. Akan tetapi kebebasan disini jangan diartikan bebas secara sepenuhnya, karena tidak dapat kita pungkiri masih ada agama yang membatasi kebebasan kita sebagaimana kita sebagai manusia yang beragama. Agama tetap memberikan kebebasan kepada kita, akan tetapi masih ada batasan-batasan yang telah ditentukan dalam ajaran agama. Karena sejatinya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan, jadi kebebasan yang sangat berlebihan sangat tidak baik bagi kita.
Mari kita berbenah diri untuk memberikan contoh kepada generasi muda agar memiliki moral yang baik, tidak hanya mengajarkan / menyuruh untuk berperilaku jujur, amanah, dan lain sebagainya, tapi kita harus melakukan apa yang kita ajarkan. Apabila kita mengajarkan untuk berperilaku jujur, maka kita juga harus berperilaku jujur, jangan hanya omongnya saja tapi tindakan yang kita lakukan untuk memberikan contoh kepada generasi muda sangat sedikit.Dengan tindakan kita bisa membuat anak bangsa memiliki moral yang baik, mulailah dari kita untuk melakukan-nya, jangan menunggu orang lain yang tidak akan pernah melakukannya, kalau bukan kita siapa lagi?
Oleh: Much Arsyad Fardani
Pend. Bahasa Jawa 08
Selasa, 27 April 2010
PERAN ORANG TUA DAN GURU DALAM MEMBIASAKAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DIKALANGAN REMAJA
PERAN ORANG TUA DAN GURU
DALAM MEMBIASAKAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA
DIKALANGAN REMAJA
Disusun sebagai pengganti Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah: Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu: Ermi Dyah Kurnia
Disusun oleh:
Much Arsyad Fardani
2102408015
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di kawasan Republik Indonesia. Penting peranan bahasa antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah pemuda 1928 yang berbunyi :” kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” dan pada undang-undang dasar kita yang di dalamnya tercantum pada pasal khusus yang menyatakan bahwa “ bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Namun, di samping itu masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang termuka di antara berantus-ratus bahasa Nusantara yang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa.
Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara tercantum dalam UUD 1945, Pasal 36, Bab XV. Fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah (1) sebagai bahasa resmi kenegaraan, (2) sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, (3) sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan, (4) sebagai bahasa resmi dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Keistimewaan kedudukan bahasa Indonesia seperti terurai di atas hendaknya diimbangai pula dengan pembinaan dan pengembangan yang memadai. Pembinaan dan pengembangan itu sangat penting. Lebih-lebih untuk bahasa Indonesia yang masih dalam tapah perkembangan. Melalui pembinaan dan pengembangan itu bahasa Indonesia diharapkan akan selalu dapat mengemban fungsi yang diberikan kepadannya.
Adanya kecenderungan negatif dari para generasi muda terhadap bahasa Indonesia kini sedang terjadi. kebanyakan dari mereka lebih cenderung menggunakan bahasa asing dalam percakapan keseharian mereka. bahkan munculnya bahasa gaul dalam kehidupan mereka seolah menjadikan bahasa gaul tersebut sebagai bahasa keseharian dan tak dapat dilepaskan dari kehidupan mereka. Banyak diantara mereka menganggap bahwa jika kita tak mampu menggunakan bahasa asing bahkan bahasa gaul dalam percakapan keseharian mereka, maka ia dianggap ketinggalan zaman.
Hal ini sangat riskan jika dibiarkan begitu saja. Ditengah perkembangan zaman yang membawa negeri ini pada era glonalisasi tak ayal akan membawa dampak diberbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini juga akan berdampak pada kelangsungan bahasa Indonesia sebagai bahasa kenegaraan. Oleh karena itu perlu adanya pembinaan bahasa bagi para generasi muda agar bahasa Indonesia tetap dijunjung tinggi sebagai bahasa kenegaraan, dan bahasa keseharian. Melihat dari beberapa masalah di atas, maka perlu adanya pengkajian ulang tentang eksistensi dari bahasa Indonesia ditengah era global ini yang membawa dampak pada munculnya penggunaan bahasa asing dan bahasa gaul yang lebih dominan dibanding bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia diangkat dari bahasa melayu. Ada beberapa alasan mengapa bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia dibanding dengan bahasa-bahasa nusantara lainnya. Bahasa Melayu yang dianggap telah menjadi lingua franca di Indonesia, bahasa penghubung, dan bahasa perdagangan. hal ini didukung pendapat dari seorang ahli sejarah asal Cina, I Tsing yang menyatakan bahwa di Sriwijaya pada waktu itu ada bahasa yang bernama koen louen yang berdampingan dengan bahasa Sansekerta. Yang dimaksud dengan koen louen adalah bahasa penghubung (lingua france) di kepulauan Nusantara yang tak lain adalah bahasa Melayu.
Ada beberapa bukti bahwa bahasa Melayu pada waktu itu telah digunakan sebagai bahasa penghubung. Berbagai batu bertulis (prasasti) kuno yang ditemukan, seperti prasasti kedukan bukit di Palembang bertahunkan 683, Prasasti Talang Tuo di Palembang thun 684, dan lain sebagainya.
Secara resmi bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa Indonesia tercatat dalam teks sumpah pemuda sebagai hasil dari Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sebagaimana yang tercantum pada bait ketiga “menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia, mulai saat itulah bahasa Indonesia tercatat sebagai bahasa persatuan. Selanjutnya, setelah bangsa Indonesia merdeka, bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa Negara seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, Bab XV, pasal 36.
Berbagai peristiwa kemudian mengiringi bahasa Indonesia, baik dalam kedudukannya sebagai bahasa persatuan maupun sebagai bahasa Negara. Peristiwa yang dimulai dari lahirnya ejaan resmi bahasa Melayu hingga ditetapkannya Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah pada tanggal 31 Agustus 1972 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ra.
Penggunaan Bahasa Gaul di Kalangan Remaja
Saat ini banyak sekali remaja yang menciptakan bahasa gaul, yaitu bahasa baku yang dipelesetkan, sehingga terkadang orang dewasa tidak memahami bahasa apa yang dikatakan oleh para remaja tersebut. Dalam berkomunikasi sehari-hari, terutama dengan sesama sebayanya, remaja seringkali menggunakan bahasa spesifik yang kita kenal dengan bahasa ‘gaul’. Disamping bukan merupakan bahasa yang baku, kata-kata dan istilah dari bahasa gaul ini terkadang hanya dimengerti oleh para remaja atau mereka yang kerap menggunakannya.
Menurut Piaaget (dalam Papalia, 2004), remaja memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap formal operasional. Piaget menyatakan bahwa tahapan ini merupakan tahap tertinggi perkembangan kognitif manusia. Pada tahap ini individu mulai mengembangkan kapasitas abstraksinya.
Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, perkembangan bahasa remaja mengalami peningkatan pesat. Kosakata remaja terus mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya referensi bacaan dengan topik-topik yang lebih kompleks. Menurut Owen (dalam Papalia, 2004) remaja mulai peka dengan kata-kata yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan metaphor, ironi, dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat mereka. Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul.
Contoh bahasa gaul yang sering dipakai adalah beud, yang berasal dari kata banget. Selain itu Uang, yang berasal dari kata yang. Lalu ada pula kata kakak yang dalam bahasa Inggris adalah sister, menjadi sista, dan brother menjadi 6no tha.
Masih banyak sekali bahasa gaul yang digunakan para remaja dalam percakapan sehari-hari. Penyebabnya adalah kurangnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia baku. Namun, tidak semua remaja menggunakan bahasa gaul ini. Yang menggunakannya pada umumnya adalah remaja yang ingin dianggap beken atau tenar di kalangan teman-temannya. Mereka menganggap berbahasa gaul adalah keren, padahal di mata remaja lain gaya bahasa mereka adalah alay.
Alay adalah singkatan dari Anak Layangan, yaitu anak-anak yang dalam berbicara atau menuliskan kata-kata cenderung agak kampungan. Ciri-ciri alay antara lain:
Penulisan kata disingkat
Memakai simbol tambahan
Di atas adalah sebagian kecil dari ciri-ciri alay. Gaya bahasa ini tidak hanya mereka praktikkan dalam penulisan, namun juga dalam cara berbicara. Ketika mereka berbicara dengan bahasa gaul yang agak sedikit norak itu, terkadang bibir mereka monyong mengikuti kata-kata yang mereka ucapkan. Aksen huruf z pada akhir kata terdengar sangat jelas, sehingga membuat lawan bicara yang tidak memahaminya menjadi pusing.
Bahasa gaul yang digunakan anak remaja alay ini sudah menjalar ke mana-mana. Anak kecil pun mengetahui gaya bahasa ini. Sangat disayangkan sekali, anak kecil yang sebenarnya mampu menyerap banyak kata terpaksa menyerap kata-kata yang tidak baku dalam bahasa Indonesia.
Peran Orang Tua dan Guru dalam Membiasakan Penggunaaan Bahasa di Kalangan Remaja
Jika melihat berbagai gejala yang terjadi disekitar kita mengenai penggunaan bahasa Indonesia dikalangan remaja tentu memprihatinkan. Ditengah tuntutan bagi pemuda untuk menjadi generasi penerus bangsa yang mampu menjaga segala warisan bangsa ini, tentu hal ini sangat riskan. Banyak diantara para pemuda yang lebih percaya diri menggunakan bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari dari pada menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tentu disebabkan beberapa hal, mulai dari ketidak percayaan mereka ketika berbincang dengan teman sejawat hingga kurangnya waktu penggunaan bahasa Indonesia. Karena selama ini penggunaan bahasa Indonesia hanya terbatas pada lingkungan sekolah. Disinilah peran dari pendidikan bahasa Indonesia untuk memperbaiki sebelum bahasa Indonesia benar-benar ditinggalkan oleh generasi muda bangsa ini. Selain itu peran dari orang tua dan guru dirasa sangat perlu untuk menangani hal ini.
Peran orang tua dan guru untuk memperhatikan perkembangan bahasa anak-anaknya dirasa sangat diperlukan. Karena berbahaya sekali jika anak-anak kecil menggunakan gaya bahasa gaul dan alay. Mereka bisa menuliskan dan mengucapkannya hingga remaja nanti, sehingga mereka tidak mengetahui yang manakah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bisa saja karena mereka terlalu sering menggunakan bahasa yang norak ini hanya karena ingin gaul dan tenar, lalu mereka mengucapkannya di depan guru, menuliskannya pada lembar jawaban ulangan esai, dan menggunakannya ketika berpidato.
Banyak cara untuk membuat remaja menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, antara lain
Membiasakan remaja untuk membaca buku-buku penulis Indonesia.
Berbicara dengan bahasa yang baik kepada anak remaja.
Memperkenalkannya dengan karya sastra sastrawan Indonesia.
Mengajaknya sering-sering berlatih menulis dengan bahasa Indonesia yang baik.
Oleh sebab itu, kita bagi para orang tua dan guru, semestinya mengawasi penggunaan bahasa pada anak. Jangan sampai mereka terbawa pengaruh yang buruk, yang membuat mereka menggunakan bahasa Indonesia yang buruk pula.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahasa Indonesia diangkat dari bahasa melayu. Ada beberapa alasan mengapa bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia dibanding dengan bahasa-bahasa nusantara lainnya. Bahasa Melayu yang dianggap telah menjadi lingua franca di Indonesia, bahasa penghubung, dan bahasa perdagangan. hal ini didukung pendapat dari seorang ahli sejarah asal Cina, I Tsing yang menyatakan bahwa di Sriwijaya pada waktu itu ada bahasa yang bernama koen louen yang berdampingan dengan bahasa Sansekerta.
Alasan para remaja lebih senang menggunakan bahasa gaul dari pada bahasa Indonesia disebabkan karena beberapa alasan. Dimulai dari keinginan para remaja agar terlihat gaul dengan menggunakan bahasa gaul dari pada bahasa Indonesia hingga dirasa kurangnya waktu penggunaan bahasa Indonesia yang hanya bertempat pada lingkungan sekolah saja.
Banyak cara untuk membuat remaja menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, antara lain
Membiasakan remaja untuk membaca buku-buku penulis Indonesia.
Berbicara dengan bahasa yang baik kepada anak remaja.
Memperkenalkannya dengan karya sastra sastrawan Indonesia.
Mengajaknya sering-sering berlatih menulis dengan bahasa Indonesia yang baik.
Selain itu peran orang tua dan guru dalam mengawasi penggunaan bahasa dikalangan remaja dirasa sangat efektif untuk membiasakan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Doyin, Mukh dan Wagiran. 2009. Bahasa Indonesia. Semarang: UNNES Press.
www.bataviase.co.id tanggal ungguh 20 April 2010
www.nawala.co.id tanggal ungguh 20 April 2010-04-27
Sabtu, 24 April 2010
FRASE VERBAL
1. Pengertian
Frase verbal adalah frase yang mempunyai distribusi sama dengan kata verbal atau kata kerja. Jadi inti frase ini berupa kata kerja dan penjelasnya biasanya berupa adverbial. Persamaan distribusi itu dapat diketahui dengan jelas dari adanya jajaran:
ana mahasiswa lagi maca skripsi ing perpustakaan
ana mahasiswa – maca skripsi ing perpustakaan
Frase lagi maca mempunyai distribusi sama dengan kata maca. Kata maca termasuk golongan verba, karena itu frase lagi maca juga termasuk golongan verba. Contoh lain:
- arep mangan
- ora nangis
- lagi turu
- mangan wareg
- ngguyu ngakak
2. Struktur Frase Verbal
a. Berdasarkan distribusinya
Berdasarkan distribusinya, frase verbal dapat berupa frase endosentrik atributif, koordinatif, dan apositif.
a). Frase verbal endosentrik atributif, misalnya:
- mlayu banter
- budhal dhisik
- tangi turu
- turu mak seg
- mlayu mak klepat
Ada pula frase verbal yang atributnya di awal frase. Atributnya berupa golongan kata tugas seperti lagi, arep, mesthi, pancen, bisa, dan sebagainya.
Misalnya:
- arep mangan
- lagi turu
- ora tuku
- durung lunga
Frase-frase di atas terdiri dari kata tambah yang mendahului
b). Frase verbal endosentrik koordinatif, misalnya:
- mangan turu
- munggah mudhun
- mlebu metu
- merem melek
c). Frase verbal endosentrik apositif. Dalam kehidupan sehari-hari jarang ditemui. Kalaupun ada biasanya digunakan oleh panata cara dalam acara tertentu. Misalnya frase sampun siap sumadya.
b. Berdasarkan kategori kata atau frase yang menjadi unsurnya
1). V didahului kata tugas, maksudnya terdiri dari kata atau frase verbal sebagai unsur pusat, didahului oleh kata tugas sebagai atribut. Contoh:
- arep mangan
- lagi turu
- isih mangan
- emoh lunga
- durung teka
2). V didahului kata ingkar, maksudnya terdiri dari kata atau frase verbal sebagai unsur pusat, didahului oleh kata ingkar sebagai atribut. Contoh:
- ora turu
- durung lunga
- gek-gek mlayu
3). V diikuti adverbial, maksudnya terdiri dari kata atau frase verbal sebagai unsur pusat, diikuti oleh kata atau frase adverbial sebagai atribut. Contoh:
- mlayu banter banget
- mlaku rindhik
- turu angler
- turu ngorok
- mlayu cepet
4). V diikuti Numeralia, maksudnya terdiri dari kata atau frase verbal sebagai unsur pusat, diikuti oleh kata atau frase numeralia sebagai atribut. Contoh:
- mangan ping pindho
- njupuk ping sewelas
- tuku sejinah
5). V diikuti V, maksudnya terdiri dari kata atau frase verbal sebagai unsur pusat, diikuti oleh kata atau frase verbal sebagai unsur pusat atau atribut. Jadi semua unsurnya berupa kata atau frase verbal. Contoh:
- mangan turu
- mlebu metu
- merem melek
- munggah mudhun
6). V diikuti N, maksudnya terdiri dari kata atau frase verbal sebagai unsur pusat, diikuti oleh kata atau frase nominal sebagai atribut. Contoh:
- adus bebek
- nglangi gaya kupu-kupu
c. Berdasarkan satuan lingual unsur-unsurnya
Struktur frase ini berkaitan dengan satuan lingual yang berhubungan dengan unsur segmental.
1). Berstruktur kata dan kata, maksudnya yaitu frase itu terdiri dari 2 kata. Misalnya frase tangi turu terdiri dari dua kata yaitu kata tangi dan kata turu. Contoh:
- arep lunga
- badhe nedha
- ora nangis
- mangan wareg
- nangis ngguguk
2). Berstruktur kata dan frase, maksudnya yaitu frase itu terdiri dari kata dan frase. Misalnya frase lagi tangi turu terdiri dari kata lagi dan frase tangi turu. Contoh:
- mangan ping pindho
- malah tansah kelingan
- turu angler banget
3). Berstruktur frase dan kata, maksudnya yaitu frase itu terdiri dari frase dan kata. Misalnya frase munggah mudhun maneh terdiri dari frase munggah mudhun dan kata maneh. Contoh:
- nangis ngguguk terus
- mangan turu maneh
- mlebu metu terus
4). Berstruktur frase dan frase, maksudnya yaitu frase itu semuanya terdiri dari 2 frase. Misalnya frase durung budhal pating gedandaban terdiri dari frase durung budhal dan frase pating gedandaban.
3. Hubungan Makna antar Unsur-unsurnya
Pertemuan unsur-unsur dalam suatu frase menimbulkan hubungan makna. Misalnya pertemuan kata merem dan kata melek dalam frase merem melek menimbulkan hubungan makna 'penambahan'. Hubungan makna itu secara jelas ditandai oleh kemungkinan diletakkannya kata lan atau utawa di antara kedua unsurnya, menjadi merem lan melek atau merem utawa melek.
Hubungan makna antar unsur-unsur dalam frase verbal adalah:
1). ‘penambahan’, misalnya: munggah mudhun
2). ‘dari’, misalnya: tangi turu
3). ‘seperti’, misalnya: adus bebek
4). ‘arah’, misalnya: ngalor ngidul
5). ‘kwalitas’, misalnya: mlayu banter
6). ‘aspek/ waktu’, misalnya: lagi turu, durung mangan, tansah kelingan
7). ‘modalitas’, misalnya kudu lunga, mesthi nangis, gelem mbayar.
Selasa, 20 April 2010
10 Tanda-Tanda Kalo Kamu Lagi Kasmaran
10 Signs u love someone (10 Tanda Kamu Cinta Seseorang)
TEN:
You feel shy whenever he’s/she’s around.
kamu merasa salah tingkah waktu dia berada dekat2 ama kamu.
NINE:
You smile when you hear his/her voice.
Kamu langsung gembira begitu tau kehadirannya dan mendengar suaranya.
EIGHT:
When you look at him/her, you can’t see the other people around you, you just see him/her.
Bahkan ketika berada di kerumunan, mata kamu hanya tertuju kepada dia..
SIX:
he’s/she’s all you think about.
Hanya dia yang ada dalam pikiran kamu.
FIVE:
You realize you’re always smiling when you’re looking at him/her
Kamu menyadari bahwa kamu berbunga2 dan bahagia ketika mau menemui dirinya.
FOUR:
You would do anything for him/her, just to see him/her
Kamu rela/mau melakukan apa saja, buat dia.. agar bisa bertemu dengannya.
THREE:
While reading this, there was one person on your mind this whole time.
Ketika kamu baca baris ini, ada seseorang yang sedang kamu pikirkan.. dia yang spesial buat kamu.
TWO:
You were so busy thinking about that person, you didnt notice number seven was missing
Kamu terlalu sibuk memikirkan dirinya, sampai ga sadar kalo nomor tujuh ga ada dalam sepuluh tanda2 ini.
ONE:
You just scrolled up to check & are now silently laughing at yourself.
Kamu sekarang scroll ke atas dan cek yang ga ada itu, dan diam2 senyum sendiri sekarang.
Bener ga ? ha.ha.
TINDAK TUTUR
4.1 Teori Tindak-Tutur
Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).
Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris.Contoh.
(1) Ada enam kata dalam kalimat ini
(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono
Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas 1995: 30).
Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif.Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8).Contoh.
(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)
(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar.
Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49).Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-55).
Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.
4.2 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).
Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).
4.3 Implikatur (Implicature)
Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional.Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan.Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58).Contoh.
(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya
(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok
Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?
Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.
4.4 Teori Relevansi
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini.Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya.Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh.
(7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.
Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah ini memberikan gambaran yang cukup jelas.
(8) A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go?
B: At the weekend.
A: What weekend?
B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service?
A: That might be cheaper. Then that's fifty.
Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan processing effort.
4.5 Kesantunan (Politeness)
Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "facemerupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.
Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh.
(9) a. Maaf, Pak, boleh tanya?
b. Numpang tanya, Mas?
Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (9a).
Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA.Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut.
(5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly)
b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite)
c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite)
e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6).Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim).
5.Pragmatik dalam Linguistik
Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal.Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa.Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis.Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai,tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik.Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
6.Penutup
Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.